Jumat, 13 Maret 2009

Tugas ZZ 3 : First Love

Anak muda. Apalagi yang paling disukai anak muda kalau tidak soal asmara, cinta, dan pacaran. Memang jantung ini selalu berdebar-debar jika sudah menyangkut hal yang satu ini. Berpikir, membayangkan dan mencoba sealu mengingat wajah si dia. Lalu tersenyum sendiri seperti orang sakit jiwa. Ya memang inilah hidup mau bagaimana lagi.

Dulu pernah saat cinta pertamaku bahasa gaulnya ya first love. Dia ku anggap sebagai bidadariku. Aku merasa selalu ingin melindunginya, selalu disampingnya. Aku anggap dia sebagai tuan putri sang selalu harus dilindungi dari segala marabahaya. Keren banget ya. Seperti film anime Flame of Recca.

Itu cuma pikiranku seandainya aku bisa jadi pacarnya. Kenyataanya, jantungku selalu berdebar-debar ketika bertemu dengannya. Tidak pernah sekalipun aku berani untuk sekedar berbincang dengannya. Rasa ini seperti penyakit gila, ingin melindungi tapi tak berani bicara. Disisi lain aku selalu mengharapkannya. Tak pernah bosan aku mencuri-curi pandang untuk melihatnya. Dia melihat kearahku aku berpaling pura-pura tak melihat. Aduh, sekarang aku pikir, buat apa sih melalukan hak itu, cuma seperti anak kecil.

Lampu hijau menyala diatas kepalaku. Sinyal positif. Tak kusangka dia juga memendam perasaan yang sama padaku. Tapi lebih kompleks. Aku dianggapnya (maaf tak bermaksud sombong) ganteng, pintar, dan misterius. Wow sempurna, memang ada orang seperti itu? Aku saja tidak merasa. Ternyata sama juga dia sering curi-curi pandang bahkan lewat cermin. Saat aku berbalik, dengan gugupnya dia menyembunyikan cermin itu.mungkin dia pikir, “aduh ketahuan gak ya. Aku malu…”.

Seperti kebanyakan anaka laki-laki setiap sore aku bermain bola di lapangan bersama tema- temanku. Kulihat dari kejauhan, siapa itu sepertinya aku kenal. Dia bersepeda, rambut panjangnya bergerak mengikuti alunan angin. Anggun sekali. Semakin lama, semakin dekat, semakin jelas kulihat. Ternyata itu si dia, tanpa ragu aku melambaikan tangan, dan dia membalas lambaian itu. Hari itu hari yang paling menyenangkan. Padahal dengan satu lambaian tangan. Betapa besarnya kekuatan cinta.
Rasa ini semakin lama semakin menyebalkan. Aku berpikir dan menimbang, lampu pijar lima watt menyala diatas kepalaku. Aku mengumpulkan keberanian, semangat, percaya diri, mental, tekad dan terakhir nekad. Aku pikir, apa sih yang mungkin terjadi? Kemungkina paling buruk cuma malu, malu dan dipermalukan di sekolah. Paling parah mungkin sampai seminggu. Tidak lama cukup untuk menghabiskan pulsa sepuluh ribu.
Aku ambil nafas dalam-dalam, aku keluarkan perlahan. Dengan penampilan sekeren mungkin : topi coklat yang belakangnya nerancang, jaket orange yang sulit diresletingkan, celana jeans biru longgar, tas agar terlihat lebih pintar dan sepeda Vega R keluaran terbaru ( sekarang sudah ketinggalan jaman). Tanpa basi-basi aku melaju menuju rumah si dia. Dengan jari-jemariku yang dingin karena grogi aku terus melaju. Sudah terlambat untuk kembali.

Jantungku semakin berdegup kancang, keringa dingin, dan jemati tangan dingin, ikut melengkapi penderitaanku. Akhirnya aku sampai di depan rumahnya. Tak disangka sebelumaku turun dari sepeda motorku, dia sudah keluar rumah. Dia kaget setengah mati, dengan bahasa isyarat dia menyuruhku untuk pergi. “Ada apa sih ?”, tanyaku penasaran sambil membalikan motorku.
“Ada Ibuku…!” dia berbisik keras.
“Eh aku cuma sebentar kok”. Lalu dia masuk kedalam rumah lagi.
Dan tiba-tiba keluar lagi dan bertanya, “cari siapa?”.
Tanpa basa-basi aku jawab “cari kamu!”. Dan dia masuk ke dalam rumah lagi. Ada apa sih, kok aneh banget. Tinggal persilakan aku masuk, duduk, ngobrol bereskan.
Dia keluar lagi, “Kak Agung gak ada”.
Dengan mengerutkan dahi aku yang bingung bertanya, “Kak Agung siapa? Aku kesini cari kamu, kamu sini bentar to, aku mau ngomong. Bentar aja…”.
Akhirnya dia keluar halaman rumah dan mendekat padaku. Tanganku masih dingin.dengan salah tingkah aku bertanya “aduh ngapain ya aku kesini, aku jadi bingung kesini mau apa”. Dia diam saja. Aku bertanya, “kamu grogi gak?’. Dia mengangguk.
“Eh besok jaj lo, di sekolah aja”. Dia berbalik mau masuk rumah. Aku pegang tangannya yang sama dinginnya sepertiku. Dan berkata suatu kalimat yang tak pernah aku katakana, paling aku benci, tidak suka, memuakan. “aku suka kamu”. W(sensor)k.
Dess, kurasa tembakanku tepat pada sasaran. Dia menjawab “iya aku juga sama”. Seperti habis menang lotre. Aku senang bukan main. Dia melepaskan tangannya, “eh aku harus masuk rumah dulu nanti dimarahin sama Ibu. “berarti kita udah jadian?”. Dia berbalik, tersenyum dan mengangguk. Rasa di dadaku benar-benar luar biasa seperti menang lotre 3 kali ketambahan kejatuhan durian satu truk.
Aku meninggalkan rumahnya dengan perasaan luar biasa yang belum pernah aku rasakan sebalumnya. Akhirnya aku berhasil mandapatka sang putriku. Tapi apakah akan jadi seperti yang aku bayangkan dulu? Mungkin iya mungkin juga tidak.

1 komentar:

Dellya Winda Yuniar mengatakan...

Cerita bagus sich...tapi panjang banget....XD

Eh, kapan-kapan komen di blog-ku

thewind-blow-up.blogspot.com